Renungan 1:
Mengapa manusia pernah merasakan yang namanya malas?
Sebuah pertanyaan yang semoga, dengan jawaban yang kutulis, membuatku tahu apa sebenarnya yang menyebabkan manusia, aku sendiri, pernah merasakan perasaan malas itu. Dan semoga, aku tahu solusi untuk menghindari rasa itu kembali lagi kepadaku, karena jujur akumenganggap bahwa malas adalah penghambat kita dalam mencapai kesuksesan. Mengutip apa yang pernah kudengar dari seniorku ketika aku baru saja memasuki salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung, bahwasanya semua mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi negeri itu semuanya pintar. Adapun yang membedakan mereka satu sama lain, adalah kerajinannya dan ketekunannya. Maka terbayang bila kita mempunyai kebiasaan untuk bersikap malas, maka tak ada tempat untuk kita untuk bisa bersaing dengan orang lain. Ini masih dunia kampus, yang notabene masih ideal dan rasional. Berbeda dengan nanti yang terjadi saat kita turun ke dunia yang sebenarnya, yaitu ke masyarakat dan dunia kerja. Persaingan tidak lagi sesehat dan se-uniform di dunia kampus. Latar belakang dan kepentingan yang berbeda, membuat tiap orang bisa melakukan apa saja demi mencapai kepentingan pribadi atau golongan mereka. Bila kita masih membawa rasa malas itu ke dunia tersebut, maka bersiaplah untuk menggelandang di bumi ini.
Urgensi sebuah upaya membunuh rasa malas amat sangat penting, bagi siapapun. Orang yang malas cenderung untuk membuang waktunya untuk hal-hal yang sebenarnya tidak produktif. Dalam hal ini, ada sebuah dramatisasi dalam menyikapi suatu keadaan. Dan menurutku itu adalah kuncinya. Dramatisasi.
Sebuah pola pikir yang merembet hingga mempengaruhi semua anggota tubuh kita, sehingga membuat impuls-impuls dalam tubuh kita hingga sangat berat untuk digerakkan. Pola pikir tersebut adalah suatu respon dari suatu keadaan atau kejadian yang dialami oleh orang tersebut dan responnya amat berlebihan dan cenderung negatif. Akal kita mencoba untuk mendramatisasi semua kejadian yang kita alami sehingga kita beranggapan bahwa kita tidak sanggup melakukan apa yang lebih dari itu. Pikiran-pikiran negatif tersebut yang sangat bertentangan dengan pernyataan yang terang-terang telah dijelaskan oleh sang Maha Pencipta, bahwa tidak ada suatu masalah apapun yang dibebankan kepada kita melainkan kita sanggup untuk melewatinya. Maka bahwa bila kita mengubah pola pikir dan paradigma kita bahwa kita sebenarnya sanggup lebih dari itu, maka malas itu bisa kita bunuh. Sebuah motivasi dan penyemangat kepada diri kita sendiri sangat diperlukan. Hal yang paling kecil adalah kita memotivasi kita sendiri. Misal” ayo Bung! Anda bisa melakukan lebih dari ini!”
Dan yang kedua bahwa membunuh kemalasan adalah suatu perang dengan diri kita sendiri. Bila kita kalah, maka kita yang akan dikuasai oleh rasa malas itu. Maka tak ada kata lain kecuali menang. Caranya?
Buat enjoy aktivitas yang kita lakukan, dan jangan pernah membebani diri dengan pikiran-pikiran negatif dari kita. Lalu pikirkan akibat bila kita malas melakukan aktivitas tersebut, maka apa kerugian dan target yang tidak tercapai, lalu pikirkan dampaknya bagi masa depan kita. Usaha preventif tersebut harus dibicarakan atau ditulis sehingga kita akan ingat selalu dan menjadi fungsi kontrol bagi kita bila kita dilanda malas itu lagi.
Sebuah kultur yang tidak produktif juga sebaiknya kita ubah, atau minimal bila kita tidak sanggup maka bisa kita tinggalkan. Tinggal diantara orang-orang yang tidak produktif akan membuat diri kita terwarnai oleh kultur tersebut juga. Satu atap atau berteman baik dengan pencontek laporan akan cenderung terpengaruh untuk mengikuti kultur tersebut. Maka berkumpullah di suatu komunitas produktif, komunitas yang dalam sehari mampu mengatur urusan negara, atau organisasi minimal, jangan pernah menjadi orang yang dalam sehari bahkan tak mampu mengurus dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar